PEMBELAJARAN MULTIKULTURAL DENGAN TEKNIK BEREMPATI UNTUK MEREDAM PERILAKU STEREOTIPE DAN BERKONFLIK
Bambang Kariyawan Ys.
Guru Sosiologi SMA Cendana Pekanbaru, Komplek Palem PT.
CPI Rumbai,
Abstract: Stereotype behavior like negative prejudice to other
social groups could create conflict that destructing the wholeness of Indonesian
multicultural community. This condition could undermine the
nation’s identity and character which is used for valuing diversity differences.
The purpose of this study is to discover the implementation of multicultural
learning using emphaty technique and to determine whether the multicultural
learning using emphaty technique will decrease conflicting and stereotype behavior
among students. Schools as small reflection of multicultural community becomes a
place of learning that might cope the stereotype and conflicting behavior. The
learning process that could be done to curb the negative behavior is
multicultural learning with emphaty technique. The learning consist of the
stage to forming multicultural group, expressing their own culture and
assessing the other culture, solving the problem of cultural diversity,
performing one kind of culture, and learning reflection. Through the use of descriptive analysis, observation, and survey
questionnaire, it found that multicultural learning using empathy technique can
reduce the stereotypes and the conflicting behavior among students. The result
show that more than 80% students agree and strongly agree for the statement related
to the effect of emphathize learning in increasing their understanding and
reducing stereotype behavior. About 76% said
agree and strongly agree that emphatize learning could reduce conflicting
behavior. The implementation of emphatize technique can be an alternative of
learning that can shape students behavior to be more character by learning to
appreciate the differences.
Key
words: multicultural,
emphatize technique, stereotype, conflict
Indonesia
adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Keadaan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun
geografis yang begitu luas dan beragam dalam suku, agama, ras dan budaya.
Tilaar (2004:5) mengungkapkan bahwa keragaman tersebut diakui atau tidak, akan
dapat menimbulkan berbagai persoalan yang sekarang dihadapi bangsa ini. Seperti
korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan,
hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain, dan
sikap primordialisme yang berlebihan pada kelompoknya sendiri sebagai bentuk
nyata dari multikultural itu.
Perilaku-perilaku
mengkuatirkan di atas dalam teori budaya dapat dikelompokkan dalam perilaku stereotipe berupa
etnosentrisme, dan primordialisme.
Perilaku-perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai sumber konflik dari berbagai
permasalahan sosial di dalam masyarakat.
Perilaku stereotipe (prasangka), etnosentrisme (menilai dengan ukuran
budaya sendiri), dan primordialisme (mengunggulkan daerah asal) sering
berdampak dalam proses pembelajaran yang akan mengganggu kestabilan dan
keutuhan berinteraksi siswa dalam proses belajar. Perilaku-perilaku
mengedepankan prasangka dan keunggulan budaya dan daerah sendiri dapat dilihat
dalam proses pembelajaran berupa penggunaan bahasa ibu, simbol-simbol budaya,
dan berkelompok dengan alasan pemilihan karena sama suku atau latar
belakang. Kondisi-kondisi tersebut jelas
akan sangat mengganggu interaksi dalam proses belajar mengajar sebagai
penanaman benih-benih konflik. Bila kondisi ini dibiarkan maka akan terbawa
terus ke dalam pembiasaan anak didik di dalam masyarakat.
Kondisi ini merupakan
kenyataan yang tidak bisa ditolak sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai
kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain. Realitas multikultural tersebut
berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali kebudayaan nasional
Indonesia yang dapat menjadi integrating
force (kekuatan ingin bersatu) yang mengikat seluruh keragaman etnis dan
budaya tersebut. Untuk membangun integrating
force tersebut salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan
pendekatan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas
keragaman.
Sekolah
sebagai pencerminan masyarakat multikultural menjadi tempat pembelajaran untuk
menguatkan pemahaman atas keragaman tersebut. Salah satu mata pelajaran yang
memiliki relevansi terhadap pemahaman keragaman latar belakang budaya adalah
Sosiologi. Salah satu materi yang berhubungan dengan pemahaman keragaman budaya
dan diajarkan dalam Sosiologi adalah Masyarakat Multikultural. Materi ini
menjadi begitu penting ketika dihubungkan dengan pembentukan sikap saling
menghargai perbedaan budaya dan masih kuatnya benih-benih perilaku stereotipe
dan berkonflik di kalangan siswa. Untuk itu perlu teknik yang tepat dalam
proses pembelajarannya. Salah satu
teknik yang tepat menurut pengalaman penulis dengan menggunakan pembelajaran
multikultural dengan teknik berempati.
Multikultural berarti beraneka ragam
kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002:100) akar kata dari
multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari
fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan
bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut
multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan
konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat
majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan.
Empati
Menurut
Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Empati), empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan/emosi orang
lain. Empati dapat juga diartikan kesanggupan untuk turut merasakan apa yang
dirasakan orang lain dan kesanggupan untuk menempatkan diri dalam keadaan orang
lain. Empati membuat kita dapat turut merasa senang dengan kesenangan orang
lain, turut merasa sakit dengan penderitaan orang lain, dan turut berduka
dengan kedukaan orang lain.
Empati memungkinkan seseorang untuk menghayati masalah atau kebutuhan yang
tersirat di balik perasaan orang lain, yang tidak hanya diungkapkan melalui
kata-kata. Melalui empati, kita tidak hanya keluar diri dalam usaha memahami
orang lain, tetapi juga melakukan pemahaman internal terhadap diri sendiri.
Stereotipe
Stereotipe adalah pendapat atau prasangka mengenai
orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan
bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut.
Stereotipe dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang
dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk
stereotipe negatif. Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki
sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. (http://id.wikipedia.org/wiki/ Stereotipe).
Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman
individu, namun kadang merupakan hasil pengalaman dan pergaulan dengan orang
lain maupun dengan anggota kelompok kita sendiri. Hewstone dan Giles dalam Sutarno (2008:15) mengajukan kesimpulan
tentang proses stereotipe:
- Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
- Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi individu.
- Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu dan kelompok lain.
- Stereotipe menghambat polaperilaku perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
METODE
Penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif. Subyek
penelitian ini adalah siswa SMA Cendana Pekanbaru, kelas XI-IPS4 sejumlah 29
orang. Karakteristik siswa kelas yang menjadi subjek penelitian memiliki ragam perbedaan
jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan orang tua, dan kegiatan ekstra kurikuler.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi
dengan mengamati proses pembelajaran multikultural dan angket untuk
menganalisis hasil tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran dengan teknik berempati.
Penggunaan angket ini bertujuan menggali lebih dalam tanggapan siswa terhadap
metode yang digunakan sebagai pelengkap metode observasi sehingga didapat data
primer mengenai apakah metode pembelajaran yang digunakan dapat mencapai
sasaran yang diinginkan dari sudut pandang siswa.
Penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi,
berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat
yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan
sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang
kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Burhan, 2007:68).
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Hasil
Kegiatan Pembelajaran
Berdasarkan
langkah-langkah pembelajaran yang telah diuraikan sebelumnya, maka diperoleh
hasil kegiatan pembelajaran sebagai berikut:
1.
Ketika proses pembagian
kelompok multikultural berlangsung dapat diperoleh data berdasarkan pengamatan terhadap
siswa sebagai berikut:
a.
Proses awal ketika
pendataan beragam latar siswa dengan menggunakan panduan pembentukan kelompok
multikultural siswa masih berkelompok menurut jenis kelamin dan teman dekatnya
saja. Kedekatan berupa kesamaan suku bangsa dan keanggotaan ekstrakurikuler.
b.
Tahap ketika guru akan
membagi kelompok berdasarkan beragam latar belakang budaya beberapa siswa
menunjukkan sikap keberatan. Alasan yang diberikan antara lain: “Kami sudah punya kelompok yang solid. Kami
sudah terbiasa bekerja sama dengan kelompok yang ada. Kami kuatir pekerjaan
tidak akan selesai.”
c.
Ketika proses pembagian
kelompok berlangsung siswa masih berusaha menyatukan kelompok yang telah
terbiasa. Hal ini terlihat dengan ajakan beberapa siswa untuk bergabung dengan
kelompoknya.
d.
Dengan memberikan
pemahaman bahwa kelompok multikultural sebagai bagian dari proses belajar hidup
bermasyarakat maka siswa mulai menerima kelompok yang telah terbentuk. Adapun contoh
kelompok multikultural yang terbentuk setelah melakukan penyebaran beragam
latar belakang budaya sebagai berikut:
Tabel 1. Daftar Kelompok Multikultural I
No.
|
Nama
Siswa (Inisial)
|
Latar
Belakang Sosial Siswa
|
1.
|
FN
|
Perempuan, Jawa,
Islam, CPI, Paskib
|
2.
|
DO
|
Laki-laki,
Batak, Kristen, CPI, Sispala
|
3.
|
LD
|
Perempuan,
Tionghoa, Kristen, Wiraswasta, CEDS
|
4.
|
SA
|
Laki-laki, Minang, Islam,
CPI, B Boy Dance
|
5.
|
IG
|
Laki-laki, Palembang,
Islam, CPI, MB BCK
|
e.
Namun proses akhir dari
kelompok yang telah terbentuk, tetap ada beberapa gejolak kecil dengan alasan
yang diberikan :”Susahlah Pak, kerjasama
dengan si A. Dari dulu kalau kerjasama dengan dia selalu tidak pernah beres.”
2.
Langkah
proses mengungkapkan identitas budaya sendiri dan pengalaman berinteraksi
dengan ragam budaya siswa lain diperoleh data sebagai berikut:
a.
Dengan
berpedoman pada penugasan yang diberikan guru. Setiap perwakilan siswa dengan
latar belakang budaya tertentu tampil mempresentasikan budaya dan karakteristik
budayanya.
Gambar 1. Bahan Presentasi Keragaman Budaya
Hal-hal yang diperoleh dari siswa ketika mengungkapkan
budaya dirinya ditemukan beberapa pendapat yang mengarah pada mengunggulkan
budayanya seperti:
“Menurut
kami, orang Jawa sebagai orang yang paling sopan. Mengenal tatakrama. Suka
menolong orang lain dan tulus.” (Siswa Jawa).
Berbeda dengan pendapat siswa Jawa, siswa Batak
berpendapat “Menurut kami, orang Batak
itu orang yang paling suka bekerja keras. Tidak suka bertele-tele. Paling
kompak.” (Siswa Batak)
Namun siswa Minang berpendapat: “Menurut kami, orang Minang itu paling pintar berdagang. Sangat peduli
dengan saudara.” (Siswa Minang).
”Orang
Melayu paling pintar memelihara budaya” (Siswa Melayu).
Beda dengan pernyataan: ”Orang Tionghoa yang paling tekun dalam bekerja.” (Siswa Tionghoa).
b.
Tahap
ketika siswa memberikan pendapat tentang budaya yang berbeda dengan dirinya
dapat disimpulkan bahwa ada
kecenderungan bernada stereotipe
seperti yang diungkapkan oleh siswa:
“Menurut
kami orang Jawa itu selain selalu pasrah pada nasib dan terlalu banyak
basa-basi.”
“Menurut
kami orang Batak itu temperamental dan tidak peduli dengan orang yang berbeda
suku dengannya.”
”Menurut
kami orang Minang itu terlalu perhitungan.”
”Menurut
kami orang Melayu itu tidak suka bekerja keras dan banyak menghayal.”
“Menurut
kami orang Tionghoa itu tidak suka membaur dengan orang lain.”
c.
Dengan
menggunakan pedoman pengamatan terhadap proses pembelajaran tahap ini diperoleh
data sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Pengamatan Terhadap Proses Pengungkapan dan Penilaian Budaya
No.
|
Nama Kelompok
|
Partisipasi Anggota dalam Kelompok
|
Keterangan
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|||
1.
|
I
|
|
|
|
√
|
|
Baik
|
2.
|
II
|
|
|
|
|
√
|
Baik Sekali
|
3.
|
III
|
|
|
|
|
√
|
Baik Sekali
|
4.
|
IV
|
|
|
|
√
|
|
Baik
|
5.
|
V
|
|
|
|
|
√
|
Baik Sekali
|
Keterangan: 1:
Kurang Sekali, 2: Kurang: 3: Cukup, 4: Baik, 5: Baik Sekali
3.
Tahap
penyelesaian kasus keragaman budaya berlangsung selama proses pembelajaran diperoleh
data sebagai berikut:
a.
Secara umum terhadap kasus yang diberikan siswa menjawab
tidak setuju dengan perilaku memberikan kemudahan pada yang berlatar belakang
budaya yang sama. Salah satu jawaban kelompok antara lain:
”Sebuah
tindakan yang tidak fair, namun realitanya masih banyak kondisi yang dialami
Hamid masih terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak bisa dipungkiri
kedekatan itu diperlukan namun di era sekarang kalau kita mau maju maka
prestasi yang diperoleh siapapun harus dijunjung tinggi.”
b.
Dengan
menggunakan pedoman pengamatan terhadap proses pembelajaran diperoleh data
sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Terhadap Proses Pembelajaran Penyelesaian Kasus
Budaya
No.
|
Nama Kelompok
|
Partisipasi Anggota dalam
Kelompok
|
Keterangan
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|||
1.
|
I
|
|
|
|
|
√
|
Baik Sekali
|
2.
|
II
|
|
|
|
|
√
|
Baik Sekali
|
3.
|
III
|
|
|
|
|
√
|
Baik Sekali
|
4.
|
IV
|
|
|
|
√
|
|
Baik
|
5.
|
V
|
|
|
|
|
√
|
Baik Sekali
|
Keterangan: 1: Kurang Sekali, 2: Kurang: 3: Cukup, 4:
Baik, 5: Baik Sekali
Gambar 2. Kerjasama Siswa dalam Memecahkan Masalah
Keragaman Budaya
4.
Tahap
siswa mengekspresikan budaya berlangsung diperoleh data sebagai berikut:
a.
Siswa membawakan beragam ekspresi budaya
berupa lagu daerah, pantun, dan drama singkat berisi beragam dialek bahasa
daerah.
Adapun yang dihasilkan oleh setiap kelompok sebagai
berikut:
Tabel 4. Hasil Penampilan Ekspresi Budaya Kelompok
Multikultural
No.
|
Nama Kelompok
|
Jenis Penampilan
|
Hasil
|
|
Angka
|
Proses
|
|||
1.
|
I
|
Lagu Jawa Gambang Suling
|
75
|
Ada 2 siswa
yang tidak hapal dan kurang ekspresif
|
2.
|
II
|
Berbalas Pantun
|
78
|
1 siswa masih memegang teks
|
3.
|
III
|
Lagu Batak Sinanggartulo
|
82
|
Siswa tampil dengan peralatan
yang lengkap
|
4.
|
IV
|
Drama Singkat Dialek Daerah
|
85
|
Semua anggota mampu berdialek
dengan baik dan mengundang kelucuan
|
5.
|
V
|
Lagu Minang Kampuang Nan Jaoh
di Mato
|
77
|
Siswa menunjukkan keseriusan
dengan menggunakan talempong tapi kurang ekspresif
|
Gambar 3. Kelompok Multikultural Mengekspresikan Budaya
b.
Dengan
menggunakan pedoman pengamatan terhadap penampilan ekspresi budaya diperoleh
data sebagai berikut:
Tabel
5. Hasil Pengamatan Terhadap Penampilan Ekspresi Budaya
No.
|
Nama Kelompok
|
Partisipasi Anggota dalam Kelompok
|
Keterangan
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|||
1.
|
I
|
|
|
|
√
|
|
Baik
|
2.
|
II
|
|
|
|
√
|
|
Baik
|
3.
|
III
|
|
|
|
|
√
|
Baik Sekali
|
4.
|
IV
|
|
|
|
|
√
|
Baik Sekali
|
5.
|
V
|
|
|
|
√
|
|
Baik
|
Keterangan: 1: Kurang Sekali, 2: Kurang: 3: Cukup, 4:
Baik, 5: Baik Sekali
Alasan pemilihan atraksi budaya yang ditampilkan menurut
anggota kelompok sebagai berikut:
”Lagu
Gambang Suling sudah familiar di telinga kami.” (Siswa Tionghoa).
”Kami
tinggal di Riau sebagai bumi Melayu maka pantun pun perlu kami pelajari.” (Siswa
Melayu).
”Menyanyikan
lagu Batak membuat kami semangat.” (Siswa Minang).
”Memainkan
drama ini membuat kami bisa belajar dialek daerah lain.” (Siswa Batak).
”Lagu
ini membuat kami terkenang saat studi tour SMP saat ke Sumbar.” (Siswa Jawa).
5. Setelah selama tiga kali pertemuan dilaksanakan
pembelajaran multikultural dengan teknik berempati dilakukan tahap melakukan evaluasi
terhadap proses pembelajaran secara keseluruhan. Tahap ini dilaksanakan dengan mengisi angket dan
refleksi terhadap proses pembelajaran. Adapun hasil angket yang telah diisi
oleh siswa diperoleh hasil dan gambaran sebagai berikut:
a. Angket Pengaruh Pembelajaran Berempati terhadap
Pemahaman Materi.
Angket ini terdiri dari empat pernyataan sebagai
berikut:
1) Pembelajaran teknik berempati membuat kalian lebih
memahami materi yang diajarkan.
2) Pembelajaran teknik berempati sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
3) Langkah-langkah dalam pembelajaran teknik berempati
mudah untuk diikuti.
4)
Contoh-contoh
dalam pembelajaran teknik berempati sesuai dengan realita yang ada di
masyarakat.
Adapun rekapitulasi jawaban siswa dapat dilihat pada
Diagram 1.
Diagram 1. Rekapitulasi Jawaban Siswa pada Angket Pengaruh Pembelajaran
Berempati terhadap Pemahaman Materi
Berdasarkan
Diagram 1 terlihat bahwa lebih dari 80% siswa menjawab setuju dan sangat setuju
untuk pernyataan yang berkaitan dengan pengaruh pembelajaran berempati terhadap
pemahaman materi. Sementara itu tidak satupun siswa yang menjawab tidak setuju
dan sangat tidak setuju.
b.
Angket Pengaruh Pembelajaran
Berempati terhadap Perilaku Stereotipe
Empat
pernyataan yang tertuang dalam angket adalah sebagai berikut:
1)
Pembelajaran teknik
berempati membuat kalian memahami
perbedaan orang lain.
2)
Pembelajaran teknik
berempati dapat mengurangi prasangka buruk terhadap orang lain.
3)
Pembelajaran teknik
berempati membuat kita menyadari bahwa setiap budaya kita memiliki ciri
khas tersendiri.
4)
Pembelajaran teknik
berempati membuat kalian bisa menilai bahwa budaya orang lain sama baiknya
dengan budaya kalian.
Diagram
2 menampilkan rekapitulasi jawaban siswa terhadap angket:
Diagram 2. Rekapitulasi Jawaban Siswa
pada Angket Pengaruh Pembelajaran Berempati terhadap Meredam Perilaku
Stereotipe
Serupa
dengan respon siswa untuk angket pengaruh pembelajaran berempati terhadap
pemahaman materi, lebih dari 80% siswa juga menjawab setuju dan sangat setuju
untuk angket pengaruh pembelajaran berempati terhadap perilaku stereotipe.
Demikian pula untuk alternatif jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju.
Tidak satupun siswa mengisi kolom tersebut.
c.
Angket Pengaruh
Pembelajaran Berempati terhadap Perilaku Berkonflik.
Angket
ini terdiri dari empat pernyataan yang meliputi:
1)
Pembelajaran teknik
berempati membuat kalian menjadi lebih sabar melihat perilaku yang berbeda
dengan kalian.
2)
Pembelajaran teknik
berempati membuat kalian bisa menghindari untuk bertengkar bila terjadi
perbedaan pendapat.
3)
Pembelajaran
teknik berempati membuat kalian mau mendengarkan orang lain berpendapat.
4)
Pembelajaran
teknik berempati dapat membuat kalian belajar bekerjasama dengan orang lain.
Rekapitulasi jawaban siswa lebih jelas dapat dilihat pada
Diagram 3.
Diagram 3. Rekapitulasi Jawaban Siswa pada Angket Pengaruh Pembelajaran
Berempati terhadap Meredam Perilaku Berkonflik
Sedikit
berbeda dengan kedua diagram sebelumnya, Diagram 3 menampilkan bahwa hanya dua
pernyataan yaitu satu dan tiga yang mendapat respon lebih dari 80% siswa untuk
kategori setuju dan sangat setuju, sementara pernyataan dua dan empat mendapat
respon setuju dan sangat setuju sebanyak 76% untuk pernyataan yang berkaitan
dengan pengaruh pembelajaran berempati terhadap perilaku berkonflik. Namun hal
yang serupa ditemukan bahwa tidak satupun siswa merespon dengan jawaban tidak
setuju dan sangat tidak setuju.
d.
Berdasarkan angket
terbuka untuk pertanyaan “Pengalaman apa yang kalian dapatkan ketika
berkelompok dalam kelompok multikultural?” Ditemukan rekapitulasi jawaban siswa antara lain:
”Kami jadi lebih mengetahui teman yang bersuku lain.”
”Kami jadi tahu lebih jauh
budaya dan kebiasaan teman-teman kami.”
”Ternyata kelompok lain punya
kelebihan yang tidak dimiliki kelompok kami.”
”Ternyata Indonesia sebagai bangsa
yang sangat kaya budaya”.
”Pengalaman bekerjasama yang
menyenangkan bekerjasama dengan orang yang berbeda dengan kita.”
e.
Berdasarkan
angket terbuka untuk pertanyaan “Bagaimana menurut kalian proses pelaksanaan
pembelajaran multikultural dengan menggunakan teknik berempati ini?” Ditemukan
rekapitulasi jawaban siswa
antara lain:
”Menyenangkan karena kami diajarkan bagaimana memahami
materi dengan belajar memecahkan masalah bersama.”
”Teknik ini membuat kami ingin merasakannya kembali
pada materi Sosiologi berikutnya.”
”Dengan belajar seperti ini kami belajar saling
menghargai dan tidak mengunggulkan kelompok sendiri.”
Pembahasan
Pembelajaran multikultural
dengan teknik berempati merupakan pembelajaran yang menuntut kerjasama dan
pemahaman bersama terhadap keberadaan anggota kelompok lain yang berbeda ragam
latar budaya. Pembelajaran model ini mengacu pada pembelajaran berbasis
multikultural menurut Suparlan Al Hakim
(2007).
Tabel
6. Model Pembelajaran Berbasis Multikultural Menurut Suparlan Al Hakim
No.
|
Tahap Kegiatan
|
1.
|
Studi
eksplorasi diri dan lingkungan sosial budaya (lokal) siswa yang potensial
dengan substansi multicultural
|
2.
|
Presentasi
hasil eksplorasi
|
3.
|
Peer group
analysis
|
4.
|
Expert opinion
|
5.
|
Refleksi,
rekomendasi dan membangun komitmen
|
Melalui
pentahapan tersebut langkah-langkah yang telah dilakukan dalam pembelajaran
multikultural dengan teknik berempati telah mengikuti alur yang jelas maknanya.
Adapun penjelasan pentahapan terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan
sebagai berikut:
Tahap
Pembagian Kelompok Multikultural
Tahap awal
sebagai tahap eksplorasi diri dan lingkungan sosial telah dilakukan dengan
membagi kelompok multikultural. Pada tahap ini siswa masih merasa segan untuk
bergabung dengan kelompok lain yang belum terlalu akrab dengannya. Kondisi ini
sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa ketika proses berinteraksi
dengan masyarakat baru maka beragam persepsi muncul terhadap keberadaan orang
lain tersebut. Kondisi segan dan persepsi inilah yang harus dileburkan untuk
membuka proses perkenalan dan mau menerima keberadaan orang yang berbeda dengan
kita.
Tahap Mengungkapkan Budaya Sendiri dan Penilaian Budaya Lain
Proses presentasi dengan melakukan pengungkapan diri atas kelompoknya dan
kelompok orang lain memerlukan kesabaran tersendiri untuk menerima ungkapan
orang tentang dirinya dan kritikan tentang diri kita. Sikap ingin melebihkan kelompok
sendiri tidak mungkin dihindari untuk
diungkapkan. Namun melalui pengungkapan diri secara bersama dalam suasana
dialog maka lambat laun kondisi ini akan mencair. Mengingat setiap kelompok
mempunyai posisi yang sama. Di sinilah letak pentingnya pembelajaran
multikultural dengan teknik berempati, proses kebekuan karena keegoaan kelompok
diharapkan mencair seiring terhadinya proses dialog. Penilaian stereotipe
terhadap budaya sendiri perlu disikapi secara positif karena pola pikir yang
telah tertanam hanya dengan suasana kooperatif dalam dialog.
Tahap
Memecahkan Masalah Keragaman Budaya
Pada tahap ini
kelompok multikultural yang terbentuk mulai meleburkan diri dalam memecahkan
satu permasalahan. Pembelajaran kooperatif multikultural dengan teknik empati
budaya bertujuan untuk meleburkan diri dalam kebersamaan. Permasalahan
keragamanan budaya disusun sebagai masalah yang akan mampu memberikan respon
untuk setiap kelompok budaya.
Tahap
Mengekspresikan Budaya
Pada tahap ini
beragam perbedaan telah melebur dalam suasana yang lebih cair melalui ekspresi
seni budaya. Seni memang menjadi melting
pot (tempat pertemuan) untuk mencairkan kebekuan dan keegoan kelompok. Kesepakatan
memilih satu atraksi budayapun membutuhkan kebesaran jiwa dari anggota kelompok
yang lain mengingat keinginan untuk menonjolkan budaya sendiri akan selalu ada.
Namun dengan belajar menerima kesepakatan dalam pembelajaran kooperatif
multikultural maka proses belajar kebesaran jiwa untuk toleransi terhadap
penonjolan budaya orang lain perlu dibiasakan.
Tahap
Refleki Pembelajaran
Pada tahap ini
siswa telah meleburkan dalam kebersamaan dan telah memandang secara positif
terhadap kelompok budaya siswa lain. Siswa telah belajar banyak tentang
pentingnya menghargai perbedaan. Lebih jauh secara tidak sadar perilaku
stereotipe dan berkonflik siswa telah terkurangi dan teredam melalui
pembelajaran multikultural dengan teknik
berempati ini.
SIMPULAN
1.
Pelaksanaan
pembelajaran multikultural dengan teknik berempati dilaksanakan dengan beberapa
tahap yaitu tahap pembagian kelompok multikultural, mengungkapkan dan menilai
budaya, memecahkan masalah budaya, dan mengekspresikan budaya.
2.
Pembelajaran multikultural
dengan teknik berempati dapat meredam perilaku stereotipe dan berkonflik di
kalangan siswa. Hal ini didasarkan pada hasil observasi selama proses
pembelajaran berlangsung menunjukkan bahwa siswa secara bertahap dapat menerima
perbedaan siswa lain dalam kelompoknya. Data ini diperkuat dengan hasil angket penelitian menunjukkan bahwa 80%
siswa menjawab setuju dan sangat setuju untuk pernyataan yang berkaitan dengan
pengaruh pembelajaran berempati terhadap pemahaman materi dan meredam perilaku
stereotipe serta sebanyak 76% menjawab setuju dan sangat setuju
untuk pernyataan yang berkaitan dengan pengaruh pembelajaran berempati terhadap
meredam perilaku berkonflik.
DAFTAR PUSTAKA
Benyamin Molan. 2009.
”Mengelola Konflik dan Resolusi Konflik”. Dalam
Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama
dalam Perbedaan.Jakarta: Indeks.
Burhan Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Catur. 2009. Perlunya Empati dalam Pembelajaran,
(Online),
diakses 9
Mei 2010).
H.A.R. Tilaar. 2004. Multikulturalisme
Tantangan-Tantangan Global Masa Depan
dalam
Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Grasindo.
Hendar Putranto. 2009. ”Wacana
Multikulturalisme dilihat dari Perspektif Historis-Politis”. Dalam Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam
Perbedaan. Jakarta: Indeks.
Parsudi Suparlan. 2002. “Menuju
Masyarakat Indonesia yang Multikultural”.
Jurnal Antropologi
Indonesia 69, hlm. 98-105.
Poloma, Margaret M.
2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Suparlan Al Hakim. 2007. Pembelajaran Berbasis Multikultural dalam
Model-Model Pembelajaran Inovatif. Malang: LP3 UM.
Sutarno. 2008. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar