PEMBELAJARAN KIMIA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM MENINGKATKAN PROSES SAINS SISWA SMA
Abstrak
There have been many investigations into the factors that underlie variations in individual student performance in student of SMA Plus Riau Province. Research goal for development teaching of chemistry model with an approach contextual increase science process . Numerous studies report a positive correlation between student science process and their exam . However, few studies have examined students learning gain resulting from chemistry instruction, particularly with regard to qualitative, conceptual understanding. We report on the results of our investigation into some of the factors, including science process, that might be associated with variations in students ability to achieve conceptual learning gains in a chemistry that employs interactive-engagement methods. It was found that students normalized learning gains are significantly correlated with their pretest scores on a postes test scores. These results suggest that students’ initial level of chemistry concept knowledge might be largely unrelated to their ability to make learning gains in an interactive-engagement course; students’ preinstruction science process might be associated with their facility at acquiring chemistry conceptual knowledge in such a course. We report on the results of gains are not significantly correlated science proscess with their higth, middle and low group
KEY WORDS: Contexstual learning, Science Literacy, Science process,acid-based, PISA .
1. Pendahuluan
Pendidikan IPA khususnya Kimia memiliki potensi besar dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini akan dapat terwujud jika pendidikan kimia mampu melahirkan siswa yang cakap dalam bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, kemampuan memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi serta adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman (Mudzakir, 2005).
Salah satu indikator keberhasilan siswa menguasai berpikir logis, berpikir kreatif, dan teknologi dapat dilihat dari penguasaan Literasi Sains siswa dari Program PISA. PISA (Programme for International Student Assesment) mendefinisikan literasi sains sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka mengerti serta membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang terjadi pada alam sebagai akibat manusia (Witte, 2003). Hasil temuan tim literasi sains Indonesia menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan Indonesia pada bidang literasi sains. Kesulitan-kesulitan ini disebabkan suasana belajar monoton, metode pembelajaran yang digunakan kurang bervariasi dan hanya berpegang pada diktat-diktat atau buku-buku paket saja. Akibatnya pelajaran kimia yang diharapkan dapat membangun manusia yang cakap berlogika dan memahami lingkungannya tidak tercapai. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Kracjik (2001), Anderson (1992), Hofstein (2000) dan Holbrook (2005) terhadap pembelajaran kimia. Hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa dimata siswa pembelajaran kimia tidak populer, tidak relevan, tidak meningkatkan kemampuan kognitif siswa. Disamping itu arah pembelajaran mensenjangkan antara harapan siswa dengan guru, tidak menyebabkan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik karena guru takut melakukan perubahan .
Sejauh ini, pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Kelas masih terfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, dan ceramah menjadi pilihan utama strategi mengajar. Hal ini berhubungan dengan pembelajaran kimia yang menitikberatkan pengembangan kurikulumnya kepada kurikulum inti. Menurut Holbrook (2005) dalam kurikulum seperti ini yang dipelajari adalah konsep-konsep dasar seperti struktur atom, ikatan kimia, penulisan rumus kimia dan persamaan reaksi, disusul oleh sistem periodik unsur, rangkaian deret homolog, atau sistem reaksi redoks. Namun materi tentang logam, terutama besi, aluminium, campuran tembaga, yang merupakan materi utama dalam kehidupan kita belum terapresiasi. Penggunaan bahan bakar dan bahan pelarut dalam skala besar yang penting untuk dipelajari siswa juga tidak terapresiasi. Disini kelihatan bahwa penghargaan ilmu kimia cenderung berpihak kepada konsep konsep dasar yang dirancang untuk siswa yang akan belajar kimia lebih lanjut.
Kurikulum seperti tersebut di atas tidak menguntungkan, karena siswa tidak belajar tentang kimia yang dijumpai di luar. Hubungan ilmu kimia dengan kehidupan siswa sehari-hari kurang dipelajari dengan strategi pembelajaran yang ada dan karenanya keterkaitan ilmu kimia dalam hidup sehari-hari tidak tergali.
Penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran ilmu kimia tidak relevan dalam pandangan siswa dan tak disukai siswa (Osborne dan Collin; Sjoberg dalam Holbrook, 2005). Untuk menjembatani kesenjangan itu, kita bisa memulai pembelajaran dengan melibatkan keterkaitan antara kehidupan masyarakat dengan pembelajaran konseptual dalam ilmu kimia. Menurut Holbrook selanjutnya, hal yang bisa diterapkan dalam pembelajaran adalah mengkaitkan pembelajaran konseptual dengan isu dalam masyarakat, sehingga konsep kimia yang diperoleh dalam pembelajaran dapat dimanfaatkan untuk membuat keputusan rasional dihubungkan dengan persoalan masyarakat.
Dengan permasalahan tersebut di atas maka peneliti memandang perlu adanya penelitian untuk mengetahui sejauh mana kemampuan proses sains siswa Sekolah Menengah Atas Kelas XI.3 SMAN Plus Prop.Riau pada materi asam-basa dengan menggunakan pendekatan kontekstual.
2.Pertanyaan penelitian
Agar masalah yang diteliti tidak terlalu luas dan arah penelitian menjadi jelas maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Apakah pembelajaran kimia pada pokok bahasan asam-basa kelas XI semster genap menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan proses sains siswa SMA ?.
3. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen, dengan pre test - post test one group design. Pola desain yang dilakukan adalah:
Subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah siswa SMA kelas XI pada SMA Negeri Plus Provinsi Riau sebanyak 29 orang siswa. Siswa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok tinggi 6 orang, sedang 18 orang, dan rendah 5 orang.
Implementasi pendekatan pembelajaran ini dilakukan pada satu kelas yang dimulai dengan pemberian pretes, pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual pada materi asam-basa dan diakhiri dengan postes. Selanjutnya siswa diminta mengisi angket untuk memperoleh tanggapan dengan beberapa orang siswa mewakili setiap kategori
4. Landasan Teori
4.1 Proses Sains
Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan (Rustaman et al., 2004). PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu:
a. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains.
b. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk memperoleh bukti itu.
c. Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya mendasari kesimpulan itu.
d. Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia.
e. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya.
Dari hasil akhir proses sains ini, siswa diharapkan dapat menggunakan konsep-konsep sains dalam konteks yang berbeda dari yang telah dipelajarinya. PISA memandang pendidikan sains untuk mempersiapkan warganegara masa depan, yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat yang akan semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan teknologi, perlu mengembangkan kemampuan anak untuk memahami hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan dan keterbatasan sains. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains, kemampuan untuk memperoleh pemahaman sains dan kemampuan untuk menginterpretasikan dan mematuhi fakta. Alasan ini yang menyebabkan PISA tahun 2003 menetapkan 3 komponen proses sains berikut ini dalam penilaian literasi sains.
1). Mendiskripsikan, menjelaskan, memprediksi gejala sains.
2). Memahami penyelidikan sains
3). Menginterpretasikan bukti dan kesimpulan sains.
4.2. Pembelajaran Kontekstual
Belajar secara kontekstual adalah salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang intinya membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurhadi (2004) yang mendefinisikan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) adalah konsep dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam buku Pendekatan Kontekstual yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2003) yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Proses pembelajaran lebih dipertimbangkan daripada hasil.
Ada tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual yaitu: konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment) (Nurhadi, 2004).
Komponen pertama dari pembelajaran kontekstual yaitu konstruktivisme, yang merupakan landasan berpikir (filosofi) pada pendekatan kontekstual, artinya bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Depdiknas, 2003). Menurut konstruktivisme, belajar adalah constructing understanding atau knowledge, dengan cara mencocokkan fenomena, ide atau aktivitas yang baru dengan pengetahuan yang telah ada dan percaya bahwa sudah dipelajari (Richardson dalam Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Kaitannya dengan proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Hal ini sejalan dengan definisi yang di kemukakan oleh Wheatley (dalam Coll, 2001) bahwa teori kontruktivis berasaskan dua prinsip utama. Prinsip pertama bahwa pengetahuan diterima oleh siswa tidak secara pasif tapi secara aktif . Gagasan dan pemikiran kita tidak bisa dikomunikasikan dengan pasti kepada siswa , kita tidak bisa menaruh gagasan didalam kepala siswa, tapi mereka akan membangun arti gagasan itu menurut mereka sendiri. Kita berkomunikasi, bisa mengandung arti berbeda untuk masing-masing orang. Prinsip kedua, fungsi koqnisi adalah adaptif melalui pengalaman bukan penemuan realitas, kita tidak menemukan kebenaran tetapi membangun penjelasan dari pengalaman kita .
Komponen kedua yaitu inkuiri artinya pengetahuan dan keterampilan ditemukan sendiri. Penemuan di sini tidak murni tetapi siswa menemukan kembali. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tapi hasil menemukan sendiri. Oleh karena itu guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan penemuan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam inkuiri ini yaitu: diawali dengan merumuskan masalah, lalu dilanjutkan dengan kegiatan observasi atau pengamatan dalam rangka untuk memahami suatu konsep, selanjutnya menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan yang terakhir mengkomunikasikan atau menyajikan karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien yang lain, baik secara individu maupun bersama-sama dengan teman lainnya.
Komponen ketiga adalah bertanya, kegiatan bertanya merupakan bagian penting untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui. Menurut Nurhadi (2004) pertanyaan dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan, berbagai macam bentuk dan berbagai macam jawaban yang ditimbulkannya. Dalam kelas, guru mengajukan pertanyaan untuk bercakap-cakap, meransang siswa berfikir, mengevaluasi belajar, memulai pengajaran, memperjelas gagasan dan meyakinkan apa yang diketahui siswa.
Komponen keempat adalah masyarakat belajar, dimana konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain pada kelompok-kelompok kecil yang anggotanya heterogen. Masyarakat belajar juga menyarankan untuk bekerjasama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan apabila bekerja sendiri.
Komponen kelima adalah pemodelan, pemodelan di sini maksudnya secara sederhana ada model yang bisa ditiru dan diamati oleh siswa, salah satunya adalah guru yang menjadi model. Guru dapat memberi contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakan tugas .
Komponen keenam adalah refleksi, yang dimaksud refleksi disini adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa yang sudah kita lakukan dimasa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima. Adapun refleksi yang dilakukan siswa berupa apa yang saya pelajari hari ini, kesulitan apakah yang saya alami hari ini, bagian pelajaran manakah yang saya suka, bagian manakah saya mengalami kesulitan, dan sebagainya.
Komponen ketujuh adalah penilaian yang sebenarnya (authentic assessment), artinya kemajuan belajar siswa dinilai dari proses, bukan melihat hasilnya saja, dan penilaian dilakukan dengan berbagai cara, tes hanya salah satunya. Menurut Nurhadi (2004), salah satu prinsip asesmen dalam pembelajaran kontekstual adalah tidak hanya menilai apa yang diketahui siswa, namun juga menilai apa yang dapat dilakukan siswa. Penilaian itu mengutamakan penilaian kualitas hasil kerja siswa dalam menyelesaikan suatu tugas.
Unsur-unsur dalam praktik pembelajaran kontekstual meliputi hubungan dunia nyata, pengetahuan terdahulu, pemecahan masalah, kontribusi kepada masyarakat (University of Washington, 2001). Ada enam strategi untuk pembelajaran kontekstual .Menurut Blanchard (dalam Departemen Pendidikan Nasional (2002), strategi-strategi tersebut adalah: (1) Menekankan pemecahan masalah, (2) Menyadari bahwa pengajaran dan pembelajaran seyogyanya berlangsung dalam berbagai konteks seperti rumah, masyarakat ataupun di lingkungan kerja, (3) Mengajari siswa memonitor dan mengarahkan pembelajarannya sendiri sehingga para siswa tersebut berkembang menjadi pebelajar mandiri, (4) Mengaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda, (5) Mendorong siswa untuk belajar dari sesama teman termasuk belajar bersama, (6) Menerapkan penilaian autentik.
Beberapa karakteristik pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut :
1. Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran.
2. Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi
3. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan.
4. Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
5. Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.
6. Hadiah untuk prilaku baik adalah kepuasan diri.
7. Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan.
8. Bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata.
9. Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa.
10. Pemahaman rumus itu relatif berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan skemata siswa
11. Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.
12. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangan oleh manusia itu sendiri. Manusia menciptakan atau membangun pengetahuan dengan cara memberi arti dan memahami pengalamannya.
13. Karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete)
14. Siswa diminta bertanggungjawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing.
15. Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan.
16. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara: proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes dan sebagainya.
17. Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks, dan setting.
18. Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek.
19. Perilaku baik berdasar motivasi intrinsik.
20. Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud dengan belajar dengan pendekatan kontekstual adalah siswa dalam memahami konsep dan prinsip dari suatu materi dimulai dari bekerja dan belajar terhadap situasi atau masalah yang ditemukan dalam kehidupan mereka sehari-hari dan bagaimana mereka memecahkan masalah tersebut baik melalui investigasi, inkuiri dan pemecahan masalah, untuk membangun konsep atau prinsip dengan kemampuannya sendiri yang mengintegrasikan keterampilan dan pengetahuan yang sudah dipahami
5. Hasil dan Pembahasan
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara hasil pretes dengan postes dilakukan dengan uji statistik. Dari hasil pengolahan data, diperoleh deskripsi data statistik dari soal proses sains dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1.
Dekripsi Data Statistik dari Soal Proses sains
| N | Minimum | Maximum | Mean | Std. Deviasi |
Pretes | 29 | 5 | 19 | 11,93 | 4,03 |
Postes | 29 | 13 | 24 | 20,45 | 2,50 |
Secara umum perolehan skor pretes dan postes proses sains yang telah dikonversi menggunakan skala sepuluh dapat dilihat pada tabel 2 berikut:
Tabel 2.
Peningkatan Tiap Kategori Siswa pada Soal Pemahaman Konsep
Kategori Kelompok | Rerata skor | N-Gain | |
Pretes | Postes | ||
Tinggi | 13,7 | 21,5 | 0,74 |
Sedang | 12,2 | 20,1 | 0,67 |
Rendah | 9,00 | 20,9 | 0.77 |
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa rerata skor pretes kelompok rendah adalah 9,0, kelompok sedang adalah 12,2 dan untuk kelompok tinggi adalah 13,7. Rerata skor postes kelompok rendah adalah 20,9, kelompok sedang adalah 20,1 dan kelompok tinggi adalah 21,5. Rerata N-Gain kelompok rendah adalah 0,77, kelompok sedang adalah 0,67 dan kelompok tinggi adalah 0,72. Berdasarkan tabel 2 dapat dibuat grafik peningkatan penguasaan proses sains siswa kelompok tinggi, sedang dan rendah, sebelum dan sesudah pembelajaran. Berdasarkan tabel 2 juga dapat dibuat grafik rerata N-Gain untuk semua kategori siswa.
Grafik 1 Peningkatan Proses sains pada Tiap Kategori Siswa, sebelum dan sesudah Pembelajaran | |
| |
Dari grafik 1 terlihat bahwa pencapaian skor postes lebih besar dari pretes. Rerata skor tertinggi dicapai oleh kelompok tinggi sedangkan rerata skor terendah dicapai oleh kelompok sedang. Secara umum siswa mengalami peningkatan penguasaan proses sains setelah mengikuti pembelajaran.
Grafik 2
Rerata N-Gain pada Tiap Kategori Siswa
Dari grafik 2 diperoleh rerata N-Gain untuk semua kategori, N-Gain yang tertinggi dicapai oleh kelompok rendah sedangkan N-Gain yang terendah dicapai oleh kelompok sedang. Semua kelompok kategori kemampuan siswa dari kelompok tinggi, sedang dan rendah memperlihatkan peningkatan Penguasaan proses sains.
Nilai Pretes dan Postes untuk setiap indikator proses sains diolah untuk menentukan peningkatan literasi sains pada aspek proses sains siswa seperti tertera pada tabel 5.berikut:
Tabel 3
Skor Pretes dan Postes Proses Sains
Indikator | Rerata | N-Gain | |
Pretes | Postes | ||
Mendiskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi gejala Sains | 3,8 | 6,6 | 0,58 |
Memahami Penyelidikan sains | 1,1 | 1,9 | 0,33 |
Menginterpretasi bukti dan kesimpulan sains | 5,9 | 10,8 | 0,77 |
Rerata | 3,96 | 6,84 | 0,57 |
N-Gain literasi sains pada aspek proses sains dapat dilihat pada grafik 3. berikut :
Grafik 3.
N-Gain pada aspek Proses sains
Dari grafik 3 di atas terlihat bahwa seluruh indikator proses sains meningkat. Peningkatan terbesar adalah menginterpretasi bukti dan kesimpulan sains dengan N-Gain sebesar 0,77 sedangkan yang terendah adalah mengamati penyelidikan sains dengan N-Gain sebesar 0,33.
Hasil pretes dan postes menunjukkan bahwa ada peningkatan penguasaan proses sains setelah implementasi model pembelajaran. Ada 3 indikator proses sains, yaitu: a. memahami gejala sains meliputi mendiskripsikan, menjelaskan, memprediksi gejala sains. b. memahami penyelidikan sains dan c.menginterpretasi bukti dan kesimpulan sains. Dari ketiga indikator di atas, indikator menginterpretasi bukti dan kesimpulan sains mendapat N-Gain sebesar 0,77 dan merupakan perolehan skor tertinggi diantara ketiga indikator. Soal-soal yang berhubungan dengan indikator adalah merupakan soal faktual. Soal soal yang bersifat faktual adalah soal yang lebih mudah dikuasai oleh siswa. Karena lansung berhubungan fakta yang dapat pada percobaan. Proses sains dengan indikator memahami penyelidikan sains yang peningkatannya terendah, yaitu N-Gain sebesar 0,30. Butir soal yang termasuk indikator ini adalah soal abstrak, yang memerlukan pemahaman lebih. Menurut definisi PISA 2003 (dalam Rustaman,2004), proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah. Pemahaman penyelidikan sains termasuk kedalam proses sains yang melibatkan proses mental untuk memahami gagasan dan menganalisa gagasan suatu penyelidikan ilmiah seperti yang ditunjukkan oleh soal tersebut. Disamping menganalisa isi gagasan, siswa juga menggunakan hipotesa untuk manjawab soal tersebut.
Temuan Analisis Tim literasi sains Puspendik 2004, mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan anak Indonesia adalah siswanya tidak biasa berhipotesis. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan di atas. Bila dihadapkan pada soal-soal hipotesis siswa akan kesulitan menjawabnya. Siswa mengalami kesulitan dalam memahami penyelidikan sains yang memerlukan hipotesa untuk menjawabnya. Ini ditunjukkan oleh N-Gain yang relatif rendah
Hasil Observasi aspek Psikomotor dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel 4
Aspek Psikomotor Siswa Dalam Kegiatan Pembelajaran
No | Aspek yang Diakses | Deskripsi | |
Ya | Tidak | ||
1 | Keterampilan menggunakan indikator | √ | |
2 | Keterampilan mereaksikan zat | √ | |
3 | Keterampilan membersihkan alat | √ | |
4 | Keterampilan memipet larutan | √ | |
5 | Keterampilan membandingkan warna indikator | √ | |
6 | Keterampilan menentukan pH | √ | |
Dari tabel 4 terlihat bahwa siswa terampil dalam melakukan aspek psikomotor yang di akses melalui observasi.
Guru telah melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan tuntutan rancangan model pembelajaran. Walaupun demikian guru tidak terlalu terikat dengan apa yang tercantum dalam model pembelajaran, karena pertanyaan-pertanyaan atau arahan kegiatan yang terdapat dalam rancangan pembelajaran dapat dikembangkan oleh guru, sehingga dapat cepat dimengerti oleh siswa.
Siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar dan melakukan kegiatan berdasarkan LKS yang disediakan. Keaktifan siswa terlihat dari cara siswa melakukan praktikum, bertanya dan mendiskusikan hasil praktikum, serta mempresentasikan hasil praktikum dalam mengambil keputusan.
Lembar kerja siswa yang dibagikan untuk membimbing siswa dalam menemukan konten sesuai dengan tahapan pembelajaran kontekstual dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh siswa. Hal ini terbukti dengan begitu antusiasnya siswa melaksanakan kegiatan praktikum. Kegiatan siswa mengacu pada LKS. Secara rerata siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan pola yang terdapat dalam LKS, siswa juga dapat menyimpulkan data hasil kegiatan serta membuat keputusan.
Setiap kelompok melaksanakan kerjasama dengan baik, karena masing-masing kelompok dapat mengatur sendiri beberapa alat dan bahan yang diperlukan untuk praktikum sesuai rencana model pembelajaran yang telah dirancang. Pada saat melakukan kegiatan, tiap kelompok selalu mengerjakan bersama sesuai petunjuk dalam LKS dan tanpa diperintah para siswa membersihkan alat-alat yang telah digunakan. Hal ini menunjukkan kerjasama siswa dalam kelompok telah dilakukan dengan baik tanpa ada perasaan saling mengandalkan antar teman satu kelompok.
Salah satu aspek yang juga ingin dilihat dalam kegiatan laboratorium ini adalah kejujuran dalam menuliskan data. Dari pengamatan terlihat ketika siswa mencatat data dalam LKS, siswa menjawab sesuai dengan hasil pengamatannya tanpa terpengaruh oleh kelompok lain. Buktinya terdapat beberapa perbedaan jawaban antar kelompok siswa dalam LKS. Hasil yang diharapkan dalam aspek ini adalah sikap jujur dalam menginformasikan data yang diperoleh..
Di akhir kegiatan, siswa melakukan diskusi sesama kelompok untuk mengkomunikasikan data yang mereka peroleh tentang minuman energy drink . Aktivitas diskusi berjalan cukup alot dan hangat karena masing-masing siswa terlihat saling adu argumen berdasarkan data-data yang mereka peroleh
Angket Siswa terhadap minat belajar
Untuk lebih melengkapi penelitian ini, peneliti melakukan angket tanggapan siswa. Berdasarkan hasil angket diperoleh tanggapan siswa terhadap model pembelajaran. Tanggapan siswa tersebut diperlihatkan dalam skala sikap Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju dan Sangat Tidak Setuju yang masing masing diberi skor 3 untuk Sangat Setuju, skor 2 untuk Setuju, skor 1 untuk Tidak Setuju dan skor 0 untuk Sangat Tidak Setuju pada pernyataan positif, dan skala sikap 0-1-2-3 untuk masing -masing pernyataan negatif.
Sikap siswa terhadap minat belajar konten asam basa diperlihatkan pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5.
Angket Siswa terhadap Minat Belajar
No | Pernyataan | Jumlah Jawaban Siswa | Rerata Skala | Keterangan | |||
SS | S | TS | STS | ||||
1 | Belajar topik asam-basa menyenangkan | 9 | 17 | 0 | 0 | 2,4 | Setuju |
2 | Belajar konsep Asam-basa penting | 7 | 19 | 0 | 0 | 2,3 | Setuju |
3 | Belajar konsep asam-basa bermanfaat | 8 | 17 | 1 | 0 | 2,3 | Setuju |
4. | Belajar konsep asam-basa menambah pengalaman | 7 | 17 | 2 | 0 | 2,2 | setuju |
Angket Siswa terhadap Model Pembelajaran
Angket siswa terhadap model pembelajaran asam-basa diperlihatkan pada tabel 6 berikut ini.
Tabel 6.
Angket Siswa terhadap Model Pembelajaran
No | Pernyataan | Jumlah Jawaban Siswa | Rerata Skala | Keterangan | |||
SS | S | TS | STS | ||||
1 | Senang melakukan percobaan/praktikum | 10 | 13 | 1 | 2 | 2,4 | Setuju |
2 | Percobaan / praktikum dengan pendekatan kontekstual menyenangkan | 4 | 17 | 5 | 0 | 1,9 | Setuju |
3 | Bahan percobaan / praktikum tidak perlu berdasarkan dalam kehidupan sehari-hari | 0 | 2 | 19 | 5 | 0,8 | Tidak Setuju |
4 | LKS membantu kegiatan praktikum | 9 | 13 | 3 | 1 | 2,2 | Setuju |
5 | LKS asam-basa yang dipraktikumkan tadi sukar dipahami | 0 | 3 | 18 | 5 | 0,9 | Tidak Setuju |
6 | Kegiatan mengamati dan diskusi dengan teman anggota kelompok tidak perlu dalam pembelajaran | | 2 | 19 | 5 | 0,8 | Tidak Setuju |
7 | Belajar konsep asam-basa cukup secara teoritis, menghafal dan banyak diskusi saja. | 0 | 2 | 15 | 9 | 0,7 | Tidak Setuju |
8 | Tes asam-basa tidak berkaitan dengan LKS yang dipraktikumkan. | 0 | 2 | 14 | 10 | 0,7 | Tidak Setuju |
Berdasarkan hasil analisis angket dan ditindaklanjuti dengan wawancara yang merupakan tanggapan siswa terhadap model pembelajaraan yang dikembangkan, terdapat temuan-temuan tanggapan yang positif. Aspek-aspek penting yang paling menonjol dapat dikemukakan sebagai berikut: Siswa merasa senang belajar konsep asam-basa dengan pendekatan kontekstual; LKS asam-basa yang telah dicoba memungkinkan siswa menguasai pengetahuan (konsep) asam-basa dalam kehidupan sehari-hari; dan soal tes asam-basa yang siswa kerjakan berkaitan dengan LKS yang dipraktikumkan.
Disamping itu siswa berminat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran kimia, khususnya pembelajaran asam-basa dengan pendekatan kontekstual yang dikembangkan. Dari angket tergambar bahwa siswa senang mempelajari konsep asam-basa dengan pendekatan kontekstual dengan alasan bahwa pembelajaran ini dapat bermanfaat bagi mereka dan dapat menambah pengetahuan mereka. Dengan menggunakan LKS yang dikembangkan dapat membantu siswa untuk bekerjasama dalam kelompok baik berupa diskusi, menemukan konsep tanpa menghapal maupun dalam mengambil keputusan.
Tanggapan guru terhadap model pembelajaran yang digunakan sangat baik. Guru sangat senang dengan pembelajaran kontekstual, karena selama ini pokok bahasan asam-basa pernah diajarkan dengan praktikum, tetapi LKS-nya lebih terbimbing, tidak banyak menuntut siswa berpikir lebih menggali untuk menemukan apalagi mengembangkan konsep supaya dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu guru merasa bahwa model yang digunakan dalam pembelajaran asam-basa ini merupakan model nyata yang menuntut siswa mengembangkan berpikir logis, kritis dan kreatif.
6. Kesimpulan
Model pembelajaran yang dikembangkan dapat meningkatkan penguasaan proses sains siswa SMA dan dapat diterapkan pada kelompok siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Model pembelajaran yang dikembangkan juga mendapat tanggapan yang positif, baik dari siswa maupun guru
Daftar Pustaka
Bukhori, A. (2005). Menciptakan Generasi Literat. [Online]. Tersedia: http:// www.pikiran-rakyat.com. [29 Agustus 2006].
Dahar, R .W. (1996). Teori – Teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Demircioglu.G, Ayas,A.,Demirciaglu,H. (2005 ). Conceptual change achieved through a new teaching program on acids and bases. Chemistry Education Research and Practice, 6 (1), 36-51
Depdiknas. (2002). Pendekatan Kontekstual. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. (2003). Kurikulum, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia 2004. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional.
Drechsler, M dan Schmidt. (2005 ). Textbooks’ and teachers’ understanding of acid-base models used in chemistry teaching. Chemistry Education Research and Practice 6 (1), 19-35
Evans ,K.L dan Leinhardt, G. ( 2006 ). Chemistry in the Field and Chemistry in the Classroom:A Cognitive Disconnect? Journal of Chemical Education 83 (4) 655-661
Gräber, W., Erdmann, T. dan Schlieker, V. (2002). “ParCIS : Partnership between Chemical Industry and Schools”. Makalah pada Simposium Internasional IPN-UYSEG Oktober 2002, Kiel Jerman.
Hayat,B.(2003). Kemampuan Dasar Hidup : Prestasi literasi Membaca, Matematika dan Sains Anak Indonesia Usia 15 Tahun di Dunia Internasional.Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan.
Hofstein, A. Carmini, M. Mamlok, R. & Ben-Zvi, R. (2000). Developing Leadership Amongst High School Science teachers in Israel . NARST 2000: New Orleans . Conference Paper, 33p.
Holbrook, J. ( 2005).Making Chemistry Teaching Relevant . Chemical Education International, 6 (1) ,1-12
Krajcik, J: Mamlok, R; Hug, B. (2001). Modern Content and the Enterprise of Science: Science Education for the Twentieth Century. In: Corno, L. (ed). Education Across A Century: The Centennial Volume. One Hundredth Yearbook of the National Society for the Study of Education, 205-237
Meltzer, D.E. (2002). “The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learnings Gains in Physics: A Possible Hidden Variable in Diagnostic Pretest Scores”. American Juornal Physics. 70, 1259-1266.
Mudzakir, A.(2005). Chemie im Kontext (Konsepsi Inovativ Pembelajaran Kimia di Jerman ). Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia II Bandung,
Nentwig, P., Parchmann, I., Demuth, R., Gräsel, C., Ralle, B. (2002). “Chemie im Context-From situated learning in relevant contexts to a systematic development of basic chemical concepts”. Makalah Simposium Internasional IPN-UYSEG Oktober 2002, Kiel Jerman.
Nurhadi. (2004). Pembelajaran kontekstual dan penerapannya dalam KBK . Malang : Universitas Negeri Malang
OECD-PISA.(2003). First Results from PISA 2003 (executive summary). www.pisa.oecd.org
Poedjiadi, A. (2005). Sains Teknologi Masyarakat Model pembelajaran Konstektual Bermuatan Nilai. Bandung : Remaja Rosdakarya
Rustaman , N. Firman,H., Kardiawarman. (2004). Analisis Hasil Bidang Literasi Sains. Tim Literasi Sains Puspendik.
Witte,D dan Beers,K.(2003). Testing of Chemical Literacy ( Chemistry in Context in the Dutch National Examinations ). Chemical Education International, 24(1),1-15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar