Halaman

Selasa

BELAJAR MATEMATIKA MENYENANGKAN MELALUI PAPAN KARTU PERMAINAN

Belajar Matematika Menyenangkan Melalui

Papan Kartu Permainan

 

Abstrak

 

Matematika merupakan pelajaran yang mampu memasuki bidang studi atau materi lain. Terkadang ia mampu berdiri sendiri, namun dilain waktu ia menjadi pelayan bagi pelajaran lain. Jika dilihat dari asal-usul konsep, ide-ide dan fakta yang ada, memang memungkinkan matematika mampu memasuki ruang pelajaran lain. Konsep, ide dan fakta yang ada di matematika terlahir karena aktivitas manusia (human activity). Salah satu contoh adalah lahirnya bilangan dikeranakan aktivitas manusia yang memasukkan domba-domba dalam kandangnya, konsep luas juga terlahir karena aktivitas manusia pada saat melimpahnya air dari sungai Nil. Jadi memang benar bahwa matematika sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh manusia. Oleh sebab itu pelajaran matematika harus disenangi oleh siswa.

Key Words: Belajar, Matematika, Menyenangkan

 

PENDAHULUAN

Mengacu pada tujuan pendidikan nasional, yankni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi maanusia yang berimtaq kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri danmenjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab, maka seorang guru dalam pelaksanaan pembelajaran harus berusaha untuk mengarahkan pembelajaran sesuai dengan tujuan tersebut. Tujuan nasional inipun harus dijabarkan (break down) ke tujuan pembelajaran bidang studi masing-masing. Terkait hal itu, maka yang menjadi tujuan setiap guru matematika pada pembelajaran matematika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah adalah:

1.      Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penuyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsisten.

2.      Mengembangkan aktifitas kreatif, yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba.

3.      Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.

4.      Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram dalam menjelaskan gagasan (Depdiknas, 2003:3).

Untuk mengimplementasikan tujuan pendidikan nasional maupun tujuan pembelajaran matematika maka haruslah diperlihatkan di lapangan (baca: di dalam kelas) oleh berbagai komponen. Komponen tersebut diantaranya guru, siswa, dan kepala sekolah. Semua komponen yang terkait dalam pembelajaran saling mengisi dan menjalankan tugas dan fungsinya. Seorang guru akan menjalankan pembelajaran dengan menggunakan berbagai metode, model, teknik, strategi dan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan materinya. Seorang siswa juga harus memahami tugasnya sebagai siswa dengan cara belajar siswa aktif, belajar kelompok dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Seorang kepala sekolah juga menjalankan beberapa tugasnya seperti sebagai pengawas/pengamat (supervisior), pembimbing (consellor), pemberi motivasi (motivator), pemberi fasilitas (facilitator), pengelola/pengatur (manager), pemimpin (leader) dan lain-lain. Diharapkan ketiga komponen ini saling bersinergi di segala bidang, jika itu terjadi maka nantinya akan mengakibatkan tujuan-tujuan apapun akan mudah diraih, prestasi siswa terus meningkat dan gurupun mulai berkreativitas, berinovasi dan lain-lain.

Di dalam makalah ini, penulis lebih menekankan kepada  komponen guru, karena penulis ingin menggambarkan pengalaman penulis sebagai guru di daerah yang mempunyai banyak keterbatasan-keterbatasan di berbagai hal seperti, fasilitas, kemampuan peserta didik, dan lingkungan masyarakat. Namun demikian bukan berarti komponen lain tidak berarti, tapi justru sebaliknya bahwa komponen-komponen merupakan komponen yang saling mendukung.

Dari pengalaman penulis, lebih kurang 10 tahun mengajar bidang studi matematika dan diskusi-diskusi kecil sesama guru matematika dari sekitar daerah Indaragiri Hulu (untuk yang diluar kabupaten Indragiri Hulu penulis hanya dapat membaca makalahnya), dapat disimpulkan bahwa ternyata pelajaran matematika itumasih merupakan pelajaran yang tidak menyenangkan atau tidak disukai bagi siswa.

Indikasi yang penulis temukan ketika diumumkan kepada suatu kelas bahwa guru matematikanya tidak hadir, maka spontan semua siswa bersorak gembira bahkan ada juga yang mengucap doa syukur. Indikasi bahwa pelajaran matematika masih dianggap pelajaran yang membosankan terutama jika di letakkan pada waktu siang hari yaitu dengan seringnya siswa minta ijin keluar kelas hanya untuk menukar suasana, menangkan pikiran, buang air kecil dan lain-lain.

Hal lain yang penulis juga temukan, masih banyaknya siswa yang tidak belajar kembali atau mengulang lagi pelajaran matematika di rumah, indikatornya adalah banyaknya pekerjaan rumah (PR) yang tidak dikerjakan di rumah, melainkan di sekolah. Hal ini bisa dianalisa karena siswa tidak memahami materi, waktu yang ada digunakan untuk membantu keluarga bekerja atau tidak termotivasi pada waktu belajar. Namun terlepas dari semua itu, jika siswa menyadari fungsinya maka suka atau tidak, paham atau tidak dan ada waktu atau tidak, siswa harus dapat melakukan tuntutan hal itu.

Banyak hal lain yang menggambarkan bahwa pelajaran matematika masih dikurangi minatnya. Di level perguruan tinggipun dapat dilihat, bahwa mahasiswa yang mengambil program studi matematika diyakini lebih sedikit dibandingkan program studi lain. Indikatornya adalah, ketika survei dilakukan kepada lulusan SMA dan siswa kelas XII, dari berbagai program studi yang ditawarkan hanya 5% yang berminat untuk melanjutkan perkuliahan deprogram studi matematika, yang lainnya 75% diluar program studi matematika dan 20% tidak melanjutkan ke perguruan tinggi.

Permasalahan-permasalahan diatas ditinjau dari komponen (domain) siswa, namun pernahkah kita tinjau dari komponen (domain) guru atau kepala sekolah? Jawabannya tentu beragam. Namun dalam makalah ini, penulis ingin mengajak kita semua untuk bersama-sama meninjau dari komponen guru, seperti penulis tuliskan diawal makalah ini.

Ketika siswa bermasalah (dalam akademis, tingkah laku, atau hal lain), terkadang guru enggan untuk menelaah latar belakang (back ground), mengapa siswa itu bermasalah dibidang akademis maupun tingkah laku. Didalam pemikiran (mind sett) kita (baca: guru), lansung mengklaim bahwa siswa itu bodoh, nakal, tidak bisa diajari. Guru lupa bahwa ada teori hubungan sebab akibat, setiap permasalahan ada sebabnya, dari sebabnya akan timbul akibat. Bisa dianalis juga, bahwa siswa bodoh disebabkan guru yang tidak mampu menyederhanakan (simplified) pemahaman rumus-rumus sesuai dengan karakter berpikir siswa. Siswa yang tidak suka dengan pelajaran matematika bisa jadi disebabkan karena cara guru atau metode pengajaran matematikannya tidak menyenangkan, atau guru yang kurang menguasai materi sehingga cara penyampaian materi kepada siswa/peserta didik terkesan buru-buru/cepat, penekanan-penekanan intonasi yang kurang yang akhirnya mengakibatkan materi tersebut kurang dipahami siswa.

Atas dasar dari latar belakang inilah timbul gagasan atau ide penulis untuk membuat makalah ini dengan focus pembahasan “Bagaimanakah menjadikan pelajaran matematika itu menyenangkan?.”

 

Belajar Matematika

Dari karakteristik matematika yang menyatakan bahwa objek matematika itu adalah abstrak, maka dibutuhkan suatu penalaran yang cukup untuk belajar matematika. Belajar matematika tentang fakta, sifat, aturan, konsep, definisi, prinsip atau teorema haruslah dipahami atau dimengerti dengan jelas, setelah dipahami baru dihapalkan.

Ada pandangan yang mengatakan bahwa belajar itu jangan dihapal, menurut penulis itu keliru, karena bagaiamanapun juga, menhapal itu sudah menjadi keharusan dalam pembelajaran. Taksonomi Bloom mengungkapkan bahwa untuk penilaian (evaluation) dari hasil pembelajaran harus menyentuh ranah ingatan (remember) atau sering dikenal dengan istilah C1. Jadi penulis berpendapat bahwa menghapal itu perlu dalam pelajaran matematika, tanpa hapalan yang baik, seorang siswa tidak akan mampu mengerjakakn soal-soal dengan baik. Namun demikian harus diingat juga jika belajar matematika hanya dihapalkan saja maka tidak akakn mempunyai arti dan tidak mempunyai landasan yang kuat. Dan dalam penilaian hasil belajar siswa, untuk ranah C1 juga harus dilihat persentasenya (%)nya. Persentase yang banyak untuk C1 mengakibatkan siswa akan lemah dalam ranah-ranah yang lain seperti ranah analisis, sintaksis, evaluasi dan kreativitas.

Sukahar (dalam Sudarmono, 2006:16) menyatakan bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur yang diatur menurut urutan logis. Belajar matematika tidak ada artinya kalau hanya dihapalkan saja, belajar matematika baru bermakna jika dimengerti.

Matematika mempunyai system dan struktur, oleh sebab itu belajar matematika haruslah bertahap dan berkelanjutan. Mempelajari sebuah konsepharuslah dengan mempelajari prasyarat konsep tersebut terlebih dahulu. Hal ini akan mempermudah untuk memahami konsep itu lebih lanjut.

Hudoyo (1988:3) mengatakan “mempelajari konsep B yang mendasar kepada konsep A, seseorang perlu memahami konsep A lebih dulu. Tanpa memahami konsep A, tidak mungkin orang itu memahami konsep B. Ini berarti, mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan serta mendasarkan kepada pengalaman belajar yang lalu.”

Soedjadi (dalam Sudarmono, 2006: 16) menyatakan bahwa untuk menguasai Matematika diperlukan cara belajar yang berurutan, setapak demi setapak dan berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudoyo (Ibid, 2006: hal.16) yang mengatakan bahwa untuk mempelajari matematika haruslah secara kontinu dan tidak terputus-putus. Belajar matematika dengan terputus-putus akan mengganggu terjadinya proses belajar.Lebih lanjut dikatakan bahwa belajar matematika hendaknya didasarkan pada pengalaman belajar yang lalu.

Dengan belajar matematika secara bertahap, berurutan, setapak demi setapak, kontinu dan tidak terputus-putus diharapkan dapat terjadi perubahan kognitif pada siswa. Karena dengan adanya perubahan kognitif siswa akan membuat siswa mampu mengaplikasikan materi matematika yang dipelajari secara konseptual maupun secara praktis, dalam kehidupannya sehari-hari. Konseptual artinya siswa mampu mempelajari materi matematika lanjutan sedangkan praktis artinya siswa mampu menerapkan materi matematika dalam ilmu lain.

Dari uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa belajar matematika merupakan proses mental seseorang melakukan kegiatan untuk memahami materi matematika. Kegiatan memahami itu sebaiknya dilakukan secara bertahap, berurutan dan kontinu serta mendasarkan pada pengalaman belajar yang lalu.

BELAJAR MATEMATIKA YANG MENYENANGKAN

Pada uraian di atas telah dijelaskan tentang belajar matematika. Sekarang bagaimana caranya kita memberikan gambaran kepada siswa bahwa belajar matematika itu sebenarnya menyenangkan. Pengalaman penulis ketika penulis menjadi siswa SD, SMP, SMA bahkan di Perguruan Tinggi serta wawancara dengan beberapa peserta didik, penulis mendapatkan gambaran bahwa dalam belajar matematika peserta didik sering mengalami tekanan-tekanan(pressure) dari guru, misalkan ketika siswa bertanya tentang suatu materi yang tidak dipahami, guru mengatakan "itu saja kamu tidak ngerti, tidak paham, main saja kerjamu. Makanya kalau saya menjelaskan perhatikan" bahkan ada juga yang menggunakan kata-kata yang ekstrim seperti "bodoh kamu nih". Kadang-kadang sering juga mengucapkan kata-kata "kalian pikir, pelajaran matematika itu mudah". Kata-kata seperti itulah yang setiap tahun dalam pertumbuhan siswa selalu didengar dan terekam, yang akhirnya dalam skema otak siswa akan tergambar bahwa memang pelajaran matematika itu sukar. Akibat lebih lanjut adalah siswa akan malas dan tidak termotivasi untuk belajar matematika.

Ada beberapa langkah menurut penulis, yang harus dilakukan oleh guru, supaya pembelajaran matematika itu menyenangkan. Langkah-langkah tersebut adalah:

1.      Memberikan sikap positif kepada matematika.

2.      Mengajar dengan multi metode (multimethode) atau metode yang bervariasi.

3.      Menggunakan alat peraga/media sebagai permainan.

 

Memberikan Sikap Positif Kepada Matematika

          Sikap positif itu maksudnya adalah sebuah perlakuan, tindakan yang baik kepada matematika. Guru sebaiknya yang menjadi pelopor, menjadi pioner untuk memberikan sikap positif terhadap matematika dengan cara, ketika kita mengajar, hindarilah kata-kata yang menyudutkan matematika. Sering-seringlah katakan bahwa "matematika itu mudah," “matematika itu menyenangkan", "matematika itu sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.” Dengan selalu mengatakan kata-kata seperti itu dalam pembelajaran maka akan membuat siswa berpikir bahwa memang matematika itu mudah, menyenangkan dan penting.

Untuk meyakinkan kembali bahwa matematika itu memang benar-benar penting maka kita juga harus berusaha untuk dapat mengaplikasikan pelajaran matematika itu dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan dunia siswa. Dengan harapan bahwa siswa juga mempunyai anggapan memang mereka merasa manfaat secara langsung akan pelajaran matematika.

Ada salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk hal-hal di atas. Cara tersebut adalah kita mendatangkan tokoh, para ahli, atau orang-orang yang bekerja pada bidang-bidang kerja di masyarakat yang selalu bergelut dan menggunakan matematika dalam kehidupannya. Contohnya kita memanggil seorang akuntan perusahaan,seorang yang bekerja dengan menggunakan statistik (ahli statistik), pedagang lontong, kue, miso di warung sekolah, kasir toko, peneliti dan lain-lain.

Dengan mendengarkan pengalaman atau cerita-cerita dari tokoh atau orang yang langsung mengaplikasikan matematika itu, nantinya akan membuat siswa lebih yakin akan pentingnya matematika, siswa dapat melihat secara jelas dan langsung dari manfaat matematika. Selain itu juga siswa akan termotivasi belajar matematika. Lebih lanjut kita harus menyakini bahwa siswa nantinya akan merasa tidak bosan dengan belajar.

 

 

Mengajar dengan Multi Metode (multimethode) atau Metode yang Bervariasi

Paradigma bahwa kita harus beroreantasi pada pengajaran harus dirubah dengan beroreantasi pada pembelajaran. Karena pendidikan kita selama ini tidak berpihak kepada siswa. Indikatornya  dapat penulis lihat, masih banyak kita (baca: guru) yang tugasnya datang ke sekolah hanya untuk melakukan transfer ilmu atau pemindahan isi (content transmission) pelajaran. Kita lupa bahwa siswa itu mempunyai kecepatan (speed) belajar yang berbeda. Perlakuan yang kita terapkan pada satu siswa terkadang belum tentu dapat digunakan untuk siswa yang lain. Selain itu juga kita harus memahami bahwa siswa itu makhluk ciptaan Allah yang unik, sehingga kita harus lebih jeli dan teliti dalam menghadapi atau mengelola mereka.

Ditinjau dari sisi cara belajar setiap siswa berbeda. Ada siswa yang suka belajar dengan gambar(visual), ada yang sukabelajar dengan musik, ada juga yang suka belajar dengan gerak (kinestetik) dan lain-lain. Konsekuensi permasalahan itu, kita harus dapat merubah cara mengajar.

Mengajar tidak hanya transfer ilmu tetapi juga mendidik. Dari mendidik inilah nantinya kita memahami karakter siswa, gaya (style) belajar siswa. Dengan memahami siswa secara komprehensif, cara mengajar pun dapat ditentukan. Misalnya, mengajar dengan multi metode. Mengajar dengan multi metode sangat dianjurkan dalam pembelajaran, tetapi juga bukan sesuatu yang diharuskan. Pembelajaran dengan multi metode atau metode yang bervariasiakan membuat siswa senang dan tidak bosan. Karena dengan berbagai metode itu, ada suasana dan gaya yang berbeda dalam pembelajaran. Pembelajaran menjadi tidak monoton, tidak kaku dan bahkan mampu mengatasi perbedaan gaya belajar setiap siswa.

Berbeda dengan pengajaran yang konvensional, yang selalu dalam urutan, menerangkan sebuah konsep atau membuktikan sebuah rumus, memberikan contoh, mengerjakan latihan, terakhir memberikan pekerjaan rumah (PR). Pembelajaran seperti ini menutup kreativitas siswa,  siswa dianggap seperti gelas kosong yang harus diisi. Sementara itu kita tidak sadar bahwa untuk belajar atau memperoleh ilmu atau konsep tidak harus di sekolah. Ilmu atau konsep tersebut bisa saja sudah didapatkan siswa melalui orangtua, guru les privat, saudara atau siswa belajar sendiri melalui buku, televsi (TV), alam dan lingkungannya atau melalui intemet.

Hal-hal seperti ini, guru harus memahami dan membuka mata bahwa zaman sudah mulai beranjak dan bergerak, begitupun cara pembelajaran juga ikut berkembang. Pembelajaran harus mengacu ke multi karakter siswa dan multi konteks. Namun demikian tidaklah semua pembelajaran konvensional itu ditinggalkan secara keseluruhan.

Pembelajaran yang menggunakan multi metode memberikan peluang untuk tumbuhnya kreativitas dalam pembelajaran. Dengan kreativitas itu metode pembelajaran harus dipilih dan dipilah sesuai dengan materi yang akan disampaikan. Pemilihan metode yang sesuai dengan materi akan membuat pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan. Banyak metode atau model pembelajaranyang telah diciptakan oleh para ahli pembelajaran diantaranya adalah:

A.     Model Penemuan Terbimbing

Model Penemuam terbimbing mengarahkan siswa untuk dapat berpikir dan menganalisis sendiri, sebuah konsep yang telah diberikan data atau bahan sehingga siswa dapat menemukan "prinsip umum.” Dalam metode ini, siswa bebas berpikir baik dengan logika ilmu maupun dengan intuisi. Terkadang siswa mencoba-coba (trial ond error) dan hal ini memang dianjurkan karena guru dalam hal ini bukan sebagai penunjuk jalan, guru hanya sebagai fasilitator. Guru hanya memfasilitasi dalam penemuan "konsep umum", siswalah yang menemukan sendiri, membangun (construction) konsep baru dengan menggunakan ide, fakta dan keterampilan yang sudah dipelajari sebelumnya. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh guru jika ingin melakukan metode penemuan terbimbing sebagai berikut:

1.      Merumuskan masalah yang diberikan dengan memberikan data secukupnya. Harus diingat bahwa rumusan masalah harus jelas, tidak ada penafsiran ganda/membingungkan. Hal ini untuk mencegah tersesatnya siswa dalam pencarian konsep baru tersebut.

2.      Dari data yang diberikan oleh guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir dan menganalisis data tersebut. Bimbingan guru sejauh diperlukan saja dan hanya berupa pertanyaan atau LKS.

3.      Siswa meyusun perkiraan jawaban dari hasil analisisnya. Jika perlu perkiraan siswa ini diperikasa oleh guru, sehingga arahnya sesuai yang diinginkan.

4.      Setelah siswa menemukan jawaban yang telah divalidasi oleh guru, maka guru harus memberikan latihan lagi, sehingga perkiraan atau cara yang dilakukan sudah tepat.

B.     Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia(PMRI).

Pembelajaran ini menggunakan masalah-masalahyang kontekstual (contextual problems) untuk memulai (starting pint) pembelajarumya. Soedjadi (2001: 2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada sebelumnya.

De Lange (dalam Marpaung, 2001:3) mengatakan bahwa pembelajaran maternatika realistis, yang merupakan proses pengembangan ide-ide dan konsep-konsep yang dimulai dari dunia nyata yang disebut proses matematisasi konseptual, digambarkan seperti berikut:

Cycle Diagram

 

Gambar 2 .2 Matematisasi Konseptual

 

Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik sebagai berikut:

1.     Memahami Masalah Kontekstual

Guru memberikan masalah kontekstual dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Jika ada bagian-bagian tertentu yang belum dipahami sebagian siswa maka siswa yang memahami bagian itu diminta menjelaskannya kepada siswa lain yang belum memahami. Seandainya siswa yang belum paham itu masih ada rasa tidak puas maka guru akan menjelaskan lebih lanjut dengan cara memberikan petunjuk dan saran seperlunya (terbatas), jika diperlukan maka guru dapat memberikan penjelasan secara klasikal. Penjelasan itu tentang situasi dan kondisi dari masalah tersebut.

Petunjukdalam hal ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk memahami masalah seperti: apa yang diketahui dari masalah? Apa yang ditanyakan?

2.      Menyelesaikan Masalah Kontekstual

Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah yang berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja siswa (LKS), siswa mengerjakan soal dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Guru mengamati, memotivasi, dan member bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.

3.      Membandingkan dan Mendiskusikan Jawaban

Guru membentuk kelompok dan meminta kelompok tersebut untuk bekerjasama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah diselesaikan secara individu (negosiasi, membandingkan,dan berdiskusi). Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.

Setelah diskusi dilakukan, guru menunjuk wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing ide penyelesaian dan alasan dari jawabannya.Kemudian guru sebagai fasilitator dan moderator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil kesimpulan tentang topik yang diajarkan.

 

 

4.      Menyimpulkan

Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu Rumusan konsep/prinsip dari topik yang dipelajari.

 

C.     Model Pembelajaran Koperatif Tipe Jigsaw

Banyak tipe-tipe pembelajaran model kooperatif, salah satunya adalah tipe Jigsaw. Tipe jigsaw ini merupakan salah satu tipe yang mengharuskan materi tersebut indenpenden, maksudnya tidak terikat oleh materi lain, tidak mempunyai materi prasyarat. Seorang guru yang ingin menggunakan tipe Jigsaw dalam pembelajaran, maka harus mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

1)     Siswa membaca topik ahli dan menetapkan anggota ahli untuk topik tertentu.

2)     Diskusi grup ahli, Siswa dengan topik ahli yang sama bertemu untuk mendiskusikannya dalam kelompok ahli.

3)     Laporan kelompok, Siswa ahli kembali ke kelompoknya masing-masing untuk menjelaskan topik yang didiskusikannya kepada anggota kelompoknya.

4)     Tes, Siswa mengerjakan kuis individual yang mencakup semua topik.

5)     Penghargaan kelompok.

 

D.    Menggunakan alat peraga/media sebagai permainan

Alat peraga atau media sangat berperan penting dalam pembelajaran, hal ini dikarenakan dengan menggunakan alat peraga siswa lebih tertarik berminat bahkan tidak akan membosankan, apalagi jika alat peraga itu dilakukan dengan cara melakukan permainan. Dengan minat yang tinggi itulah diharapkan siswa akan mendapatkan nilai yangbaik. Tingginya minat belajar juga harus diiringi dengan kemampuan kita untuk memberikan pembelajaran yang bermakna (meaningful). Pembelajaran bermakna merupakan konsep dasar dari Teori Ausubel.

Ausubel, (dalamDahar, 1988:135) menyatakan bahwa belajar itu dapat hafalan (rote learning) dan bermakna (meaningful). Belajar hafalan terjadi jika tidak ada usaha dilakukan untuk mengasimilasi pengetahuan baru pada konsep-konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif. Belajar bermakna terjadi jika dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif. Proses belajar dengan informasi baru yang akan dipelajari peserta didik disusun dan dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimilikinya. Dengan belajar bermakna siswa menjadi kuat ingatannya dan membuat transfer belajar menjadi lebih mudah dicapai. Belajar bermakna dapat terjadi jika siswa berusaha menghubungkan informasi-informasi baru ke dalam sfruktur pengetahuan mereka. Dalam proses belajar ini siswa dapat mengembangkan skema yang sudah ada atau dapat mengubahnya sehingga dalam belajar siswa mengkonstruk siapa yang sedang dipelajari.

Selain pembelajaran yang bermakna,cara menyampaikan materi, urutan materi juga mempengaruhi kemampuan daya serap siswa. Karena matematika merupakan materi yang abstrak maka kita harus mampu mengurutkan tahapan-tahapan pembelajaran sesuai dengan faktor usia siswa. Tahapan-tahapan ini sesuai dengan teori Bruner.

Menurut Bruner (dalam Hudoyo, 1988:56), Ada tiga tahap perkembangan siswa dalam belajar, yaitu:

1.      Enaktif

Pada tahap ini siswa dalam belajar menggunakan atau memanipulasi objek-objek secara langsung.

2.      Ikonik

Pada tahap ini kegiatan siswa mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek.

3.      Simbolik

Pada tahap ini siswa telah dapat memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak berkaitan lagi dengan objek-objek.

Terkait dengan dua teori yang penulis sampaikan, maka penulis membuat sebuah alat peraga yang menarik dan membuat pembelajaran lebih menyenangkan. Alat peraga yang penulis buat ini penulis beri nama dengan papan kartu.

Alat peraga ini untuk menimbulkan minat, semangat dan kertarikan siswa untuk belajar matematika, karena alat ini juga digunakan sambil bermain. Ada keuntungan alat peraga yang penulis buat, yaitu dapat digunakan pada materi matematika dari level TK, SD, SMP dan SMA bahkan alat ini juga dapat digunakan oleh guru bidang studi lain.

Dalam pembuatan alat peraga ini, penulis merujuk ke pendapat E.T Rusefendi (1988) mengenai beberapa persyaratan alat peraga yaitu:

1.      Tahan Lama

2.      Bentuk dan warnanya menarik

3.      Sederhana dan mudah dikelola

4.      Ukurannya sesuai

5.      Dapat menyajikan konsep matematika baik dalam bentuk real, gambar, atau diagram

6.      Sesuai dengan konsep matematika

7.      Dapat memperjelas konsep matematika dan bukan sebaliknya

8.      Peragaan itu supaya menjadi dasar bagi tumbuhnya konsep berfikir abstrak bagi siswa

9.      Menjadikan siswa belajar aktif dan mandiri dengan memanipulasi alat peraga

10.  Bila mungkin alat peraga tersebut bisa berfaedah lipat (banyak)

Alat peraga ini dalam membuatnya hanya menggunakan karton, lem, kertas berwarna, gunting dan spidol. Bagiannya terdiri dari:

1.      Kartu Jawaban

2.      Kartu nilai

3.      Kartu huruf atau angka

4.      Papan kartu

Lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Cara bermainnya adalah:

Setiap pertanyaan yang diajukan oleh guru, terkait dengan materi yang akan diajarkan misalnya menentukan urutan besar atau kecilnya nilai pecahan, siswa akan menjawab dengan menggunakan kartu yang diberikan yakni kartu huruf atau angka. Setelah siswa menjawab maka jawabannya dicek dengan menggunakan kartu jawaban. Jika jawaban siswa benar maka siswa tersebut mengambil kartu nilai. Kartu nilai inilah yang nantinya menjadi dasar guru untuk memberikan penilaian pada siswa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Dengan melakukan permainan papan kartu ini, penulis mengharapkan akan timbul sebuah anggapan atau paradigma bahwa matematika itu sebenarnya adalah pelajaran yang menyenangkan, pelajaran yang tidak sulit dan pelajaran yang sangat penting karena dalam semua lini kehidupan itu ada matematika, namun seringkali tidak disadari. Hal itu dikarenakan adanya keterbatasan pemikiran yang dimiliki tentang matematika.

KESIMPULAN

 

Pembelajaran matematika adalah pelajaran yang sangat menyenangkan dan sangat penting. Hal ini dikarenakan pembelajaran matematika adalah pembelajaran yang menggunakan metode permainan. Disamping itu juga pelajaran matematika itu ada di semua aspek kehidupan.

Bagaimana cara supaya pemberajaran matematika menyenangkan, kita (guru) harus melakukan pembelajaran dengan cara:

1.      Memberikan sikap positif kepada matematika.

2.      Mengajar dengan multi metode (multimethode) atau metode yang bervariasi.

3.      Menggunakan alat peraga/media sebagai permainan.

Selain itu juga kita harus merubah paradigma-paradigma pembelajaran, seperti kita harus melakukan pembelajaran bukan pengajaran. Belajar berpusaat pada siswa (studentcenter) bukan berpusat pada guru (teachercenter).

 

Daftar Pustaka

Dahar, Ratna Wilis. 1988. Teori-Teori Belajar. DIKTI. Jakarta.

Depdiknas.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mata Pelajaran Matematika SMP dan MadrasahTsanawiyah.Jakarta.Depdiknas.

Gravemeijer, Kueno. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht. The Nederlands.Frudenthal Institute.

Hudoyo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta. DEPDIKBUB P2LPTK

Marpaung,Y. 2001. Pendekatan Realistik dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di USD Yogyakarta.Tanggal 14-15 Nopember 2001.

Rusefendi, ET. 1988. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompotensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. BandungTarsito.

Sudarmono. 2006. Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia Moteri Fungsi. Tesis, Pasca sarjana UNESA, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar